
‘MENONTON PANGGUNG” LailatulArt#2 oleh Galih Suryadmaja
Display kipas besar berdiri di antara ragam instalasi bambu menyerukan kental natural warna alam. Terpajang di ujung kiri, gadis dengan khas dandanan ‘Sasaknya’ tengah menjulurkan tangan merangkai rajut benang penuh warna. Merangkai tenun di antara bunyi gamelan indah tertuang. Tampak di sudut kanan seorang pemuda tengah membuat goresan-goresan warna pada kaca. Sebuah panggung sederhana tengah terpampang rupa muda merangkai makna dan merefleksikan sebuah peringatan, Sumpah Pemuda. Itu menjadi awal gelaran malam ruang presentasi karya di antara hiruk-pikuk kota Mataram.
Terbentang sebuah karya di halaman depan Universitas Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat, LailatulArt kali kedua. Panggung ekspresi yang coba dikonstruksi mahasiswa Prodi Seni Drama Tari dan Musik (Sendratasik) UNU NTB untuk mengulang kesuksesan tahun sebelumnya. Hadir ratusan pengunjung untuk mengapresiasi, menghayati, atau bahkan hanya sekedar menikmati. Karya-karya kreatif pemuda Sasak dalam rupa warna, gerak, dan bunyi. Berbagai karya seni seperti Musik, Tari, Teater, dan rupa (lukis) ditampilkan di atas panggung. Pada Sabtu (29/10) gelaran LailatulArt#2 hadir mewarnai Mataram dengan menampilkaan beberapa kelompok seni yang ada di Lombok.
Selain menjadi ruang bagi civitas akademik UNU NTB, LailatulArt#2 turut menjadi ruang berekspresi bagi masyarakat luas. Pasalnya panggung itu menghadirkan seniman ataupun komunitas seni yang ada di sekitar kota Mataram. Zaeni Mohammad salah satunya yang sudah terlibat dalam ajang LailatulArt#1 kembali menuang antusiasnya untuk kembali terlibat. Pun demikian halnya dengan musisi yang juga merupakan aktifis lingkungan hidup Wing ‘Senthot’ Irawan. Kelompok seni Gamelan Sasak SDN 1 Stanggor Lombok Tengah turut pula meramaikan malam bersama dengan komunitas musik Kebangru’an asal Lombok Timur.
Sajian tari kreasi yang menceritakan tentang eksistensi Dewi Anjani dalam konteks kehidupan sosial masyarakat Lombok hadir dibawakan oleh komunitas seni asal Lingsar, Lombok Barat. Hadir di dalamnya pula mahasiswa seni rupa asal Universitas Nusa Tenggara Barat (UNTB) menghias bentang panggung malam. Warna tradisi kembali dirajut oleh mahasiswa UNU NTB melalui tari tradisi Gandrung. Malam yang diharap kembali mampu menyuarakan asa pemuda untuk sedikit berkontribusi pada ruang merdeka itu tampak kian semarak dengan rampak komunitas Sampah Hingar. Kelompok musik yang mengusung konsep ‘receycle’ itu mencoba mendaur ulang sampah dalam mengkonstruk bunyi. Berbagai peralatan dari sampah dipadukan dengan tiga instrumen Jimbe untuk mempresentasikan ide.
SUDUT PANGGUNG REMANG
Susunan balok terpajang di sudut halaman dengan sorot lampu seadanya. Mewah? Stigma itu jauh untuk dapat melukiskan panggung malam. Tidak “seindah-megah” panggung dangdut terpampang dalam setiap hajatan kota di taman Sangkareang. Atau bahkan panggung hiburan gelaran Taman Budaya di ajang bulan budaya. Panggung kreasi ala mahasiswa dengan remang cahaya, pun ‘sound system’ seadanya.
Pajang panggung sederhana bukan berarti tak menghadirkan makna. Bagaimana tidak, karena nyatanya panggung itu mampu menjadi simbol interaksi dan komunikasi atas ruang akademis dan sosial. Panggung remang itu tidak semata menjadi ruang pertemuan, melainkan juga menjadi tempat untuk menjelaskan keberadaan akademisi dan masyarakat “seharusnya” dalam membangun sebuah jalinan. Saling berbagi ruang, pengetahuan, dan pengalaman meski hanya melalui estetika atas presentasi ekspresi. Di mana hal itu dewasa ini cukup jarang dijumpai dalam fenomena kehidupan masyarakat, yang seringkali menghadirkan keduanya pada sekat “ekslusifitas” pelaku masyarakat akademis.
Selain itu, panggung LailatulArt#2 pun menjadi simbol kemandirian pemuda. Mahasiswa Prodi Sendratasik UNU NTB dalam mengkonstruk panggung itu pada kenyataannya tidak mendapat support penuh dari stake holder yang ada. Penggalangan dana untuk mewujudkan panggung itu nyatanya tidak sesuai dengan ekspektasi. Support berupa finansial hanya diberikan oleh PWNU NTB dan GP ANSHOR kota Mataram. Lembar proposal yang bergulir pada ruang pemerintahan dan swasta hanya bungkam tanpa suara. Dalam perjalanannya, berbagai kebutuhan dalam pementasan harus dipenuhi secara mandiri oleh penyelenggara. Setiap pelaku atau penyelenggara dengan sadar dan sepakat mengeluarkan dana pribadi untuk mencukupi kebutuhan.
Hal itu bukan sebuah kengerian yang kemudian dirasa atas implikasi dalam menuang ide dan kreasi. Malah justru hal itu menjadi satu proses dalam membangun kolektivitas dan kemandirian. Di mana penyelenggara yang seluruhnya adalah mahasiswa mampu menghadirkan makna dirinya dalam konteks kehidupan sosial. Melalui hal itu, sikap tanggung jawab pun ditunjukan dalam menyadari sebuah konsekuensi dalam mewujudkan sebuah ide dan tujuan. Meski disadari pula bahwa realitas itu merupakan wujud tidak terjalinnya komunikasi yang baik antara pemuda dengan stake holder di sekitar mereka. Bukan berarti sepenuhnya dalam wacana ini mempersoalkan pola komunikasi yang diterapkan penyelenggara semata, karena mungkin juga persoalan itu sangat bergantung pada sensitifitas stake holder dalam merespon fenomena yang ada. Tentu saja dalam kaitan mewujudkan tujuan positif.
Penyelenggaraan panggung “seni” di sekitar Jl. Pendidikan kota Mataram, terhitung cukup dekat dengan pusat aktifitas seni budaya. Sebut saja Taman Budaya Nusa Tenggara Barat, yang berlokasi tidak lebih dari 5 KM dari lokasi acara. Tentu menjadi sebuah ironi ketika menangkap sensitifitas dari lembaga itu terhadap fenomena LailatulArt. Terlebih dalam konteks ini, taman budaya menjadi sebuah ruang atau lumbung budaya yang seharusnya menjadi salah satu wadah bagi masyarakat untuk dapat bereksplorasi dalam me-reka entitas budaya. Tentu pelibatan sosok seniman yang punya andil dalam keberlangsungan taman budaya tidak dapat dinafikkan. Bukan kemudian dalam konteks ini soal “salah” hadir pada personal, melainkan malah justru pada pemangku kebijakan yang juga menaunginya. Jika berkaca dari penyelenggaraan LailatulArt sebelumnya, di mana kala itu taman budaya memberikan bantuan ‘lighting’ untuk mendukung proses pertunjukan. Namun, ‘mandeknya’ support itu patut kemudian menjadi satu simpul pertanyaan dalam konteks persepsi budaya yang memiliki ciri berkesinambungan. Atau jangan-jangan bangunan ruang pengampu budaya itu tidak paham sedikitpun tentang budaya?Panggung sederhana itu bagi saya patut untuk diapresiasi dalam beberapa aspek, pun patut untuk dikritisi. Tetapi yang terpenting adalah pada persoalan refleksi dan aktualisasinya, setelah kemudian ada jalinan dalam ruang pewacanaan. Dan itu akan tampak kemudian jika memang ada komitmen dalam membangun “keberadaban” dalam konteks ini tentu saja masyarakat yang mengaku sebagai “budayawan”. Tapi hal itu tentu saja mendulang sedikit pesimisme tentang konstruk budaya di masa mendatang, ketika wacana ini hanya dianggap angin lalu.

SOLO – LOMBOK (Catatan Perjalanan)
Usai subuh berangkat dari kampung halaman menuju pulau berjuluk Seribu Masjid, Lombok. Dari Kartasura, kota kecil di kabupaten Sukoharjo sebelah barat persis kota Solo. Mengendarai bus Patas jurusan Surabaya, dengan biaya Rp. 96.000 menempuh perjalanan darat sekitar tujuh jam. Dengan bus Eka, kita memperoleh fasilitas air mineral dan makan sekali. Makan dengan beberapa pilihan menu di rumah makan Duta yang terletak di daerah Ngawi. Rawon, Soto, ayam bakar, gulai, dan lain sebagainya dihidangkan dengan cukup sederhana. Rasa makanan kadang enak, terkadang juga hambar setelah beberapa kali mencicipi saat melakukan perjalanan dari atau menuju Surabaya. Meski demikian, cukup lumayan untuk mengisi perut kosong selama dalam perjalanan. Duduk manis sambil tiduran selama lebih kurang empat jam, usai menikmati service makan di Ngawi. Melewati hutan dan kemacetan jalanan, cukup untuk menciptakan penat. Maka dari itu, tidur tentu saja menjadi pilihan terbaik sampai tiba di Surabaya.
Masuk terminal Bungurasih di Surabaya, panas mulai terasa. Usai menikmati AC bus yang lumayan dingin, saat turun untuk mencari kendaraan menuju pelabuhan. Seperti biasanya di terminal, keluar pintu bus akan banyak orang menyambut kedatangan kita. Tak lain dan bukan adalah penyedia jasa layanan transportasi seperti taksi dan ojek. Setiba di terminal balas saja dengan senyum keberadaan mereka jika memang tidak menginginkan layanan yang ditawarkan. Langsung masuk saja ke dalam terminal menuju ruang informasi. Bertanya saja pada petugas yang lumayan ramah untuk transportasi menuju Tanjung Perak. Maka kita akan diarahkan menuju terminal pemberangkatan Damri yang berada di sisi kiri terminal. Menuju Tanjung Perak kita dapat menggunakan Damri dengan kode P4, P1, atau PAC1. Sekitar setengah jam menempuh perjalanan dengan Damri berkode P4 kita akan dikenakan tarif sebesar Rp. 6000. Bus akan berhenti tepat di depan pelabuhan, dan ketika turun kita aka berjumpa hal yang sama. Begitu banyak sambutan, seperti halnya di Bungurasih. Hanya saja bedanya di Tanjung Perak lebih banyak orang menawarkan tiket ketimbang jasa layanan transportasi.
Jalan kaki menuju depan pelabuhan, ada papan petunjuk untuk pembelian tiket Surabaya-Lombok. Dan lumayan ramah masyarakat di sekitar pelabuhan. Kalau bingung, tinggal tanya juga pasti ditunjukkan. Harga tiket saat ini sudah naik untuk penumpang dengan tanpa kendaraan. Meski gak begitu banyak jumlah kenaikannya, dari sebelumnya Rp. 82.000 sekarang Rp. 117.000 termasuk dua kali makan yang bertarif Rp. 30.000. Jika jadwal tidak molor, Pk. 14.00 WIB kapal sudah berangkat. Tapi kalau molor, tentu kita wajib menunggu jam keberangkatan yang biasanya akan diinformasikan pada saat pembelian tiket oleh petugas. Agak repot memang ketika menunggu karena jadwal keberangkatan molor. Pasalnya tidak ada ruang tunggu yang disediakan khusus oleh pihak ASDP. Tapi tenang, karena ada masjid di seberang jalan dari lokasi pembelian tiket jika pengin mencari tempat yang bersih dan adem. Kalau berat bawa barangnya, bisa dititip di tempat penitipan. Lumayanlah biar agak enteng, plus penitipan dijaga oleh para merbot yang ramah dan gratis. Cukup ngucapin terima kasih sepertinya cukup, ya kalau ada sedikit rejeki longgar boleh juga ngisi kotak infaq di masjid itu. Sekaligus beramal saleh, anggap saja ucapan terima kasih kita karena numpang nunggu kapal. Selain itu ada fasilitas minimarket di kompleks masjid, kalau-kalau kita butuh makanan atau minuman untuk mengisi kegiatan atau tambahan bekal sembari menunggu kedatangan kapal.
Begitu kapal datang, langsung saja kita masuk ke pelabuhan dan menuju di mana Legundi berada. Masuk ke dalam kapal dan langsung naik ke lantai 3. Banyak kursi terpampang di sana, pilih saja gak usah berebut karena akan sama saja. Bagi ibu hamil, lansia, atau anak-anak, baiknya hubungi petugas untuk minta matras. Agar dapat lebih leluasa ketika ingin beristirahat di atas kapal. Saya sarankan untuk mencari tempat duduk yang dekat dengan colokan listrik, kali aja pengin nge-charge hp atau apa. Duduk dan tunggu sampai kapal berangkat, atau mungkin pengin makan dulu dengan membeli nasi bungkus yang ditawarkan pedagang seharga Rp. 10.000-an sembari menunggu. Atau kalau ingin menikmati jajanan di cafetaria, gak begitu mahal kok. Mulai dari kopi yang seharga Rp. 5.000, Pop Mie Rp. 15.000, air mineral tanggung Rp. 7.000, air mineral besar Rp. 15.000, Rokok Surya 16 seharga Rp. 30.000. Lumayanlah untuk menikmati perjalanan, karena di laut sudah gak ada lagi pedagang berlalu-lalang.
Perjalanan di atas laut gak menentu, menurut perhitungan normal yaitu berkisar antara 19-21 jam. Kalau perjalanan cepat bisa jadi tiba di Lombok hanya sekitar 17-18 jam saja. Mungkin akan kebayang bosan di atas kapal selama itu. Nah untuk mengatasi itu, kita bisa menikmati film-film yang diputar di dek kapal sepanjang perjalanan. Atau kita bisa jalan-jalan keliling kapal, ngopi di cafe bagian luar sambil menikmati angin laut. Kalau yang pengin mendekatkan diri kepada Tuhan, bolehlah berdiam diri di Mushola. Sesampai di Lombok, kita akan bersandar di pelabuhan Lembar. Gak ada transportasi umum yang berlalu lalang layaknya bus atau angkot. Tapi kita gak perlu khawatir untuk eksplor Lombok. Cukup kita carter dengan mencari kawan yang sama-sama turun dari Legundi. Carter mobil bareng-bareng ber 5 paling hanya akan dikenakan ongkos sebesar Rp. 20.000 tujuan terminal Bertais atau terminal Mandalika. Nikmati saja perjalanan yang akan memakan waktu sekitar 45 menit sampai 1 jam. Pilihan lainnya kita berhenti di terminal Damri yang berlokasi tidak jauh dari terminal Mandalika. Sesampai di Mataram (terminal) silahkan mencari transportasi yang tepat dan sesuai untuk menuju tujuan yang diinginkan. (Galih Suryadmaja)